Pertengahan tahun 1920 merupakan puncak dari Partai Komunis Indonesia dari semenjak didirikan pada tanggal 23 Mei 1920, sekaligus awal kehancuran periode pertama setelah terjadi pemberontakan tahun 1926.
Dengan slogan “more riches to the rich, no taxes to the
poor, more mosque to the picas, more jobs to the semi literates”, pada pertengahan tahun
1920-an, PKI juga memutuskan
mengambil posisi sebagai partai perjuangan
untuk melawan penjajah, sehingga membuat situasi politik
semakin memanas. Persaingan untuk
memperebutkan massa pendukung
terjadi di desa-desa. Tidak jarang teror ditempuh untuk mencapai tujuan
tersebut.
Dinas Intelijen Belanda juga semakin mencium aroma “pemberontakan” oleh
PKI terhadap pemerintah Belanda. Akibatnya
timbul gerakan anti komunis dan pemerintah kolonial Belanda mulai
mengambil tindakan tegas. Rapat – rapat mereka sering dibubarkan. Para
tokoh dan aktivis PKI banyak yang diburu, ditangkap atau diasingkan, hingga
banyak aktivisnya yang melarikan diri ke luar negri, untuk berlindung dari
kejaran Intel Belanda. Diawali dengan
Sneevliet tahun 1919, Tan Malaka tahun 1922 dibuang dan diusir dari Indonesia,
dan Semaoen ditangkap tahun 1923. Dengan
demikian semua pemimpin PKI seperti Darsono, Ali Archam, Alimin, Musso, mulai
merasa terancam.
Akhirnya Pada Kongres PKI
tanggal 11-27 di kota Gede Yogyakarta, dibahas mengenai rencana gerakan
bersama di seluruh Indonesia. Rencana
pemberontakan ini pada
awalnya tidak memperoleh persetujuan Komunis Internasional (Komintern).
Aksi-aksi seperti pemogokan
mendapat perhatian serius oleh
pemerintah kolonial Belanda
bahkan rapat-rapat PKI juga
dibubarkan. Januari 1926 Musso, Boedisoetjitro,
dan Soegono rencananya akan
ditangkap oleh Gubernur
Jendral Van Limburg Stirum tetapi
mereka telah pergi ke Singapura.
Awal Pemberontakan 1926
Rapat Prambanan
Tan Malaka pun berharap Alimin menyampaikan alasan dan pertimbangan penolakannya tersebut. Alimin pun lalu kembali ke Singapura untuk menyampaikan putusan Tan Malaka.
Pada Desember tahun 1925, digelar pertemuan rahasia PKI di Prambanan Jawa Tengah, dengan Ketua
Umum PKI saat itu bernama Sardjono.
Rapat itu membahas detail rencana pemberontakan kaum kiri di Indonesia, yaitu
melakukan aksi mogok umum buruh dan perlawanan bersenjata, untuk menggulingkan
pemerintah Belanda pada pertengahan 1926. Gerakan akan dimulai di Padang,
Sumatera Barat, yang merupakan cabang PKI yang paling kuat, sebelum meluas ke
Pulau Jawa.
Rapat dipimpin oleh Alimin.
Pertemuan ini dihadiri oleh tokoh- tokoh PKI, diantaranya Budi Sucipto,
Aliarcham, Sugono, Surat Hardjo, Martojo, jatim, Sukirno, Suwarno, Kusno dan
lain-lainnya. Namun tidak semua pentolan partai
setuju dengan rencana ini, seperti
Serikat Buruh Kereta Api (VSTV), yang menurutnya ikatan buruh masih
lemah, sehingga aksi mogok akan sulit dilakukan.
Rapat Singapura
Pada Januari 1926, Musso berangkat ke Singapura dengan cara menyusup
(Karena sebelumnya Musso pernah di tahan di Singapura terkait kasus dokumen
palsu). Alimin dan beberapa pentolan PKI lainnya, sudah menunggu disana. Para
pentolan PKI tersebut posisinya juga sebagai buron Pemerintah Belanda. Selama
tiga hari, Mereka mengadakan rapat rahasia sebagai lanjutan dari rapat di
Prambanan.
Penolakan Tan Malaka
Hasil rapat di Singapura
tersebut, mereka mengutus Alimin menemui
Tan Malaka (setelah sebelumnya tahun
1922 di buang Belanda) di Manila, Filipina. Posisi Tan Malaka pada waktu itu sebagai perwakilan Komintern
di Asia Tenggara. Tujuan menemui Tan Malaka adalah sebagai perantara, untuk
meyakinkan dan meminta dukungan Moskow, karena selain sebagai kiblat, mereka
juga butuh sokongan dana dan senjata dari Uni Soviet.
Tan Malaka sebenarnya sudah tau
tentang aksi ini lewat surat yang dikirim PKI di Indonesia sebelumnya. Dia pun
kaget dan menolak rencana pemberontakan itu dengan berbagai alasan. Ia orang yang sangat taktis dan berhati –
hati, menurutnya, Situasi di Indonesia belum siap untuk sebuah aksi yang revolusioner dan juga rencananya tidak
matang. Perbandingan kekuatan PKI dan kolonial Belanda juga tidak seimbang.
Apalagi sejak tahun 1924, ketika banyak pentolan PKI di tahan dan tercerai
berai, kekuatan menjadi sangat lemah.
Menurut Soe Hok Gie dalam bukunya
”Orang – orang di persimpangan Kiri Jalan”, ada lima faktor yang menyebabkan
Tan Malaka menolak aksi pemberontakan tersebut. Antara lain :
1. Belum
ada situasi revolusioner
2. Tingkat
disiplin PKI masih rendah
3. Seluruh
rakyat belum berada di bawah PKI
4. Belum
ada tuntutan yang konkret
5. Imperialisme
Internasional sedang bersekutu melawan komunisme.
Tan Malaka pun berharap Alimin menyampaikan alasan dan pertimbangan penolakannya tersebut. Alimin pun lalu kembali ke Singapura untuk menyampaikan putusan Tan Malaka.
Tan Malaka |
Perselisihan Musso – Tan
Malaka
Pada bulan Februari 1926, kembali di gelar rapat di Singapura (dengan jumlah
personil lebih lengkap dari sebelumnya), tentang hasil keputusan Tan Malaka
yang di sampaikan oleh Alimin.
Namun Alimin menyampaikan lain, ia bilang Tan
Malaka setuju. (Mungkin ini sengaja dilakukan Alimin, agar rencana tetap
berjalan). Bahkan ia pun bilang ke Tan Malaka kalau laporannya sudah
disampaikan, tapi Musso dan Sardjono (Ketua PKI di Indonesia) menolak.
Versi lain mengatakan Alimin
menyampaikan dengan benar, tapi
Keputusan ini membuat Musso marah karena Tan Malaka menolak, sehingga
terjadi perselisihan diantara Musso – Tan Malaka.
Entah mana yang benar. Yang
jelas, reaksi penolakan Tan Malaka ini membuat perpecahan dalam organisasi PKI. Pada Bulan Maret 1926, Musso dan Alimin tetap berangkat ke
Moscow, tanpa sepengetahuan Tan Malaka,
untuk meminta dukungan langsung disana. Hal ini jelas membuat Tan Malaka kecewa
karena merasa di khianati oleh Musso dan Alimin.
Akhirnya Tan Malaka beserta
beberapa pentolan lainnya yang menolak aksi tersebut, berusaha untuk menjegal
terjadinya aksi tersebut yang sudah
terlanjur menyebar ke berbagai cabang di Indonesia. Hal ini membuat Alimin-Musso
yang sudah berada di Moskow,marah dan tetap “keukeuh” menjalankan aksinya,
walaupun sebenarnya juga di Moskow sudah
ditolak Stallin(pimpinan pusat PKI).
Musso |
Pemberontakan 1926
Bagai ayam
kehilangan induknya, para anggota
PKI di bawah bingung, antara ikut Tan Malaka atau Alimin-Musso. Kekacauan hari demi hari semakin memuncak dan
hampir semua pimpinan PKI berada di luar Indonesia dan tidak adanya koordinasi
para pemimpin extrimis.
Kegagalan Pemberontakan 1926
Selama tahun 1926 badan exekutif
PKI mengikuti aliran Tan Malaka dan Komintern, tetapi situasi terlanjur sudah
di luar kontrol, dan sekumpulan ranting liar meluncurkan pemberontakan pada
akhir tahun 1926. Tak terelakkan hal itu dimusnahkan dengan telak.
Walaupun rencana pemberontakan
ditunda, aksi pemberontakan pun tetap terjadi. Tanggal 12 November 1926 malam, di Jakarta dan Jatinegara (waktu itu
Jatinegara masih terpisah dengan Jakarta) dan Tangerang, ratusan orang bersenjata menyerang penjara Glodok, kantor
polisi dan memutus saluran telepon. Pada tanggal 12 November – 5 Desember di
Karesidenan Banten dan pedalaman Jawa Barat, aksi massa menyerang Kepala
Desa dan pejabat – pejabat rendah lainnya. 12-18 November di Priangan, 17-23 November
di Surakarta,
12-15 Desember di Tanah Kediri, direncanakan juga mengadakan
pemberontakan di Banyumas,
Pekalongan dan Kedu.
Kegagalan Pemberontakan 1926
Aksi ini pun kacau dan berantakan
karena semuanya tidak terorganisir dengan baik, juga tidak semua cabang ikut
dalam aksi ini. Ketidak kompakan sesama semua simpatisan di berbagai daerah,
yang paling utama jelas karena perseteruan dua pentolan utamanya Musso – Tan
Malaka, sehingga mengakibatkan semuanya tidak terorganisir dengan baik dan
tidak kompak, sehingga terjadi “dualism”
kepemimpinan, sehingga membuat massa dibawah menjadi bingung.
Ketidak kompakan aksi inipun
dapat segera dengan mudahnya dikendalikan oleh polisi Hindia Belanda. Di Jawa Barat dan Banten, penumpasan selesai
pada bulan Desember. Sedangkan di
Sumatra dapat ditumpas selama tiga hari
dan mendapat perlawanan yang relatif kuat.
Ribuan simpatisan komunis yang
terlibat berhasil ditangkap. Bahkan ada yang di hukum gantung. Sekitar 13.000 orang ditangkap, beberapa orang
ditembak, 5.000 orang di tahan agar tidak terjadi aksi susulan, 4.500 orang
dijebloskan ke dalam penjara dan 1.038 orang dikirim ke camp penjara yang terkenal mengerikan di Boven Digul, Irian, yang khusus dibangun pada tahun 1927 untuk
mengurung mereka.
Termasuk beberapa orang
petingginya yang dibuang, ditahan bahkan dipaksa meninggalkan Indonesia. Alimin
dan Musso berhasil lari ke singapura
bersama beberapa petinggi partai lainnya. Bahkan akhirnya Musso tinggal di
Rusia, Semaoen ke Tajikistan, dan Alimin menjadi petugas Komintern di
Cina. Juga Tan Malaka yang memang sudah
dipaksa pergi meninggalkan Indonesia sejak tahun 1922, ikut prihatin dengan
kejadian tersebut.
Suasana Di Boven Digul, Irian |
Pembubaran PKI Pasca 1926
Pasca gagalnya pemberontakan
tahun 1926 tersebut, mengakibatkan pukulan yang sangat besar buat PKI. Tindakan
yang diambil oleh pemerintah kolonial Belanda pun cukup tegas,sehingga PKI
seakan telah mati. Pada tahun 1927, Partai
Komunis Indonesia pun dinyatakan illegal dan dibubarkan.
Selanjutnya Sejarah Partai Komunis Indonesia (PKI) Part. 4
Sebelumnya Sejarah Partai Komunis Indonesia (PKI) Part. 2
Selanjutnya Sejarah Partai Komunis Indonesia (PKI) Part. 4
Sebelumnya Sejarah Partai Komunis Indonesia (PKI) Part. 2
Sumber :
1.
Orang Kiri Indonesia. Musso Si Merah Di Simpang Republik. Seri Buku Tempo. 2011.
2.
Ruth
McVey. The Communist Uprising
of 1926-1927 in
Indonesia: Key Documents.
Ithaca. Cornell University Press. 1960.
3.
Soe Hok Gie. Orang-orang
Di Persimpangan Kiri Jalan. Yogyakarta. Bentang Pustaka. 2005.
4.
Rachmat Susatyo. Pemberontakan PKI-Musso Di Madiun. Koperasi Ilmu Pengetahuan
Sosial. 2008.
No comments:
Post a Comment