S. Anantaguna lahir di Manisrenggo ,Klaten, Jawa Tengah, pada tanggal 9 Agustus 1930, dengan nama Santoso bin
Sutopangarso. Setelah beranjak dewasa, tanpa diketahui alasannya, dia mengganti
namanya menjadi Sabar Anantaguna.
Antaguna
Dan Lekra
Anantaguna berkawan dekat dengan Njoto, salah satu pimpinan tertinggi Partai
Kominis Indonesia (PKI) dan pendiri di
Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA)yang
juga penulis pidato Sukarno. Mereka berkawan sejak kanak-kanak dan pernah duduk
satu kelas di MULO, Solo. Perkawanan itu terajut hingga dewasa. Keduanya
memiliki beberapa persamaan, yaitu kokoh memegang prinsip, tak banyak bicara
serta lihai membuat syair-syair lembut namun menggugah. Hal itu juga yang
membuat ia akhirnya aktif di PKI dan LEKRA yang sedang Berjaya pada saat itu.
Sebagai penulis yang tekun dan produktif, Antaguna mula-mula
menulis puisi, kemudian juga esai panjang dan cerpen. Karyanya banyak dimuat
di Harian
Rakjat koran milik PKI dan Zaman Baru, Majalah Lekra di bawah pimpinan
Rivai Apin. Anantaguna juga salah satu redakturnya. Beberapa bulan menjelang
G30S, Lekra juga menerbitkan harian Kebudayaan Baru,
digawangi oleh Anantaguna.
Di Lekra, Anantaguna adalah penggerak organisasi
sekaligus penjaga gawang ideologi. Menjejak kiprah sebagai pendiri Lekra di
Jogjakarta dan menjadi Anggota Sekretariat Pimpinan Pusat Lekra sejak 1959. Ia
satu dari sedikit anggota Lekra yang sekaligus kader PKI. Ketika PKI ulang
tahun saat masih berjaya, Anantaguna pernah membuat puisi berjudul “Kepada
Partai” , yang sangat terkenal pada masanya.
Sebagai seorang penyair senior Lekra, namanya tidak
begitu terkenal karena dia memang orang “bawah tanah”. Martin Aleida, mantan
wartawan Harian Rakjat yang bertugas meliput
di istana presiden periode 1960-an bercerita, tahun 1960-an, dirinya pernah
sebulan tinggal seatap dengan Anantaguna di ruang belakang perpustakaan PKI. “Dia pendiam,” kata Martin. “Selama tinggal bersama, kami hanya bicara
yang penting-penting saja. Walau satu meja saat makan maupun sarapan, kami
diam-diaman. Dia baca koran, saya baca koran.” Perpustkaan itu kini menjadi
mess Aceh di Menteng, Jakarta.
27 Agustus – 2 September 1964, PKI menyelenggarakan
Konfernas Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) di Jakarta, diikuti para
sastrawan dan seniman revolusioner seluruh Indonesia. KSSR adalah konferensi
sastra dan seni pertama, sebagai hasil hasil sidang pleno CC PKI akhir 1963
yang menetapkan tentang pentingnya memberikan garis-garis pokok bagi penciptaan
sastra dan seni revolusioner. KSSR bertekad bulat untuk mengabdikan sastra dan
seni kepada kaum buruh, tani, dan prajurit. Anantaguna salah satu penggagasnya.
Antaguna dan
Pulau Buru
Pasca Tragedi 1965, Anantaguna ditangkap dan
dipenjara selama 13 tahun (1965-1978) tanpa pernah diadili. Anantaguna diciduk
tentara dan ditahan di penjara Salemba. Dalam film dokumenter Tjidurian 19, garapan Lasya F. Susatyo
dan M. Abduh Aziz, 2009, Anantaguna bertutur tentang peristiwa penangkapan itu
berikut sepenggal kisah tentang kekasihnya, yang rela meninggalkan bangku
kuliah dan bekerja menjadi baby sitter untuk
bisa mengirim makanan kepadanya di penjara. Anantaguna pun dihajar gundah,
sebelum akhirnya, pada sang kekasih, ia berujar “Kalau
mau kawin, kawin saja. Sebaiknya kita tak usah ketemu. Tidak enak sama calon
suamimu..”. Kekasihnya lantas pergi menikah.
Anantaguna mengarungi laut ke dibawa ke Pulau Buru.
Sebagaimana para tahanan politik lainnya, ia juga mengalami siksa mental dan
fisik. Teror paling pedih adalah tatkala harus menyaksikan kawan-kawannya
disiksa dan meregang nyawa. Penjara kemudian menjadi tempat terbaik ia hayati
arti pedas kehidupan. Toh, Anantaguna menolak tunduk pada ketakutan. Ia anggap
bahwa setiap persoalan harus sanggup ditaklukkan.
Di Pulau Buru, lahirlah puisi-puisinya yang begitu
menawan. 13 tahun kebebasannya dirampas tanpa pernah diadili, menulis puisi
adalah salah satu bentuk penghiburan, cara bertahan, sekaligus upaya menjaga
mental politik dan ideologi. Sebagian besar puisi Anantaguna yang diproduksi
dalam penjara-penjara dan buangan, terutama di Pulau Buru. Hingga akhirnya ia dibebaskan
pada tahun 1978.
Pasca
Pembebasan
Lepas dari penjara Orde Baru tersebut, Antaguna bekerja
serabutan untuk bertahan hidup. Jangankan pimpinan Lekra macam dia, anggota
biasa saja dikucilkan dari masyarakat. Anantaguna juga kembali ke identitas
kecilnya.
Pada 1980, ketika Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan mengadakan sayembara menulis, Antaguna mengirim naskah berjudul Mewarisi dan Memperbaharui Kebudayaan Nasional.
Naskah itu ia kirim atas nama Santoso, dan akhirnya juara satu dan mendapatkan
hadiah.
Antaguna tak punya anak. Taty, istrinya terbaring lumpuh di Kalimantan. Anantaguna bersama
istri sempat dirawat kerabatnya di Kalimantan selama 6 bulan, namun akhirnya
kerabatnya kerepotan harus merawat dua orang usia lanjut yang sakit-sakitan. Anantaguna
kembali ke Jakarta, hendak dirawat oleh kawan-kawan lamanya.
Di hari tuanya, sosok jangkung, berkacamata,
berjanggut dengan tutur kata lembut ini dihajar penyakit Parkinson, yang membuat
tangan dan kakinya mulai tertanggu. Anantaguna masih menolak menyerah. Ia masih
rajin menyambangi perpustakaan, mengumpulkan data dan menulis dengan tangan
beberapa esai.
Para pegiat Komunitas
Mata Budaya yang kerap menemani hari-hari terakhir Anantaguna, masih
mengingat jelas pesan Anantaguna padanya: “Menulislah tentang masa kini
dan masa depan, karena masa kini sendiri sudah banyak keruwetan”. Di bangsal rumah sakit, dengan lirih
Anantaguna berucap, “Kalau menderita itu sudah
biasa, yang repot itu kalau jadi beban orang-orang..”
Meninggal
Dunia
Sendirian dan sakit-sakitan, bolak-balik masuk
rumah sakit dalam rentang dua bulan, hingga akhirnya Antaguna digotong ke RSCM
dan tak sadarkan diri selama 8 hari. Pada hari Jum’at tanggal 18 Juli 2014,
pukul 1.45 WIB, Antaguna mengembuskan nafas terakhir dalam usia 85 tahun, di di
bangsal sederhana RS Cipto Mangunkusumo,
Jakarta. Setelah disalatkan usai salat Jumat di masjid yang berjarak 50 meter
dari rumahnya, jasadnya dimakamkan di TPU Duren Sawit, Jakarta Timur.
Karya
Puisi Anantaguna kerap dimuat koran Harian Rakjat, organ PKI dengan
oplah terbanyak pada 1960-an. Puisinya terangkum
dalam kumpulan puisi Yang Bertanah Air Tidak
Bertanah (1962), Kecapi Terali Besi
(1999), dan Puisi-puisi dari Penjara (2010).
Cerita pendeknya, bersama cerpenis A.A. Zubir, Agam Wispi, Sugiarti, dan T.
Iskandar A.S. masuk dalam kumpulan cerita pendek Api
26 (1961). Paling monumental adalah Potret
Seorang Komunis, yang dipuji Pramoedya Ananta Toer sebagai “prestasi
sastra realisme sosialis”.
“Menulislah tentang masa kini
dan masa depan, karena masa kini sendiri sudah banyak keruwetan”
–S. Anantaguna
Sumber:
S. Anantaguna . Puisi-Puisi dari Penjara. Ultimus,
Bandung. Cetakan Pertama, 2010
No comments:
Post a Comment