Sunday, July 20, 2014

Biografi Sabar Anantaguna



S. Anantaguna lahir di Manisrenggo ,Klaten, Jawa Tengah, pada tanggal 9 Agustus 1930, dengan nama Santoso bin Sutopangarso. Setelah beranjak dewasa, tanpa diketahui alasannya, dia mengganti namanya menjadi Sabar Anantaguna.
 
Sabar Anantaguna
  


Antaguna Dan Lekra 

Anantaguna berkawan dekat dengan Njoto, salah satu pimpinan tertinggi Partai Kominis Indonesia (PKI) dan pendiri di Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA)yang juga penulis pidato Sukarno. Mereka berkawan sejak kanak-kanak dan pernah duduk satu kelas di MULO, Solo. Perkawanan itu terajut hingga dewasa. Keduanya memiliki beberapa persamaan, yaitu kokoh memegang prinsip, tak banyak bicara serta lihai membuat syair-syair lembut namun menggugah. Hal itu juga yang membuat ia akhirnya aktif di PKI dan LEKRA yang sedang Berjaya pada saat itu.

Sebagai penulis yang tekun dan produktif, Antaguna mula-mula menulis puisi, kemudian juga esai panjang dan cerpen. Karyanya banyak dimuat di Harian Rakjat koran milik PKI dan  Zaman Baru, Majalah Lekra di bawah pimpinan Rivai Apin. Anantaguna juga salah satu redakturnya. Beberapa bulan menjelang G30S, Lekra juga menerbitkan harian Kebudayaan Baru, digawangi oleh Anantaguna.

Di Lekra, Anantaguna adalah penggerak organisasi sekaligus penjaga gawang ideologi. Menjejak kiprah sebagai pendiri Lekra di Jogjakarta dan menjadi Anggota Sekretariat Pimpinan Pusat Lekra sejak 1959. Ia satu dari sedikit anggota Lekra yang sekaligus kader PKI. Ketika PKI ulang tahun saat masih berjaya, Anantaguna pernah membuat puisi berjudul  Kepada Partai” , yang sangat terkenal pada masanya.

Sebagai seorang penyair senior Lekra, namanya tidak begitu terkenal karena dia memang orang “bawah tanah”. Martin Aleida, mantan wartawan Harian Rakjat yang bertugas meliput di istana presiden periode 1960-an bercerita, tahun 1960-an, dirinya pernah sebulan tinggal seatap dengan Anantaguna di ruang belakang perpustakaan PKI. “Dia pendiam,” kata Martin. “Selama tinggal bersama, kami hanya bicara yang penting-penting saja. Walau satu meja saat makan maupun sarapan, kami diam-diaman. Dia baca koran, saya baca koran.” Perpustkaan itu kini menjadi mess Aceh di Menteng, Jakarta.

27 Agustus – 2 September 1964, PKI menyelenggarakan Konfernas Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) di Jakarta, diikuti para sastrawan dan seniman revolusioner seluruh Indonesia. KSSR adalah konferensi sastra dan seni pertama, sebagai hasil hasil sidang pleno CC PKI akhir 1963 yang menetapkan tentang pentingnya memberikan garis-garis pokok bagi penciptaan sastra dan seni revolusioner. KSSR bertekad bulat untuk mengabdikan sastra dan seni kepada kaum buruh, tani, dan prajurit. Anantaguna salah satu penggagasnya.

 
Antaguna dan Pulau Buru

Pasca Tragedi 1965, Anantaguna ditangkap dan dipenjara selama 13 tahun (1965-1978) tanpa pernah diadili. Anantaguna diciduk tentara dan ditahan di penjara Salemba. Dalam film dokumenter Tjidurian 19, garapan Lasya F. Susatyo dan M. Abduh Aziz, 2009, Anantaguna bertutur tentang peristiwa penangkapan itu berikut sepenggal kisah tentang kekasihnya, yang rela meninggalkan bangku kuliah dan bekerja menjadi baby sitter untuk bisa mengirim makanan kepadanya di penjara. Anantaguna pun dihajar gundah, sebelum akhirnya, pada sang kekasih, ia berujar “Kalau mau kawin, kawin saja. Sebaiknya kita tak usah ketemu. Tidak enak sama calon suamimu..”. Kekasihnya lantas pergi menikah.

Anantaguna mengarungi laut ke dibawa ke Pulau Buru. Sebagaimana para tahanan politik lainnya, ia juga mengalami siksa mental dan fisik. Teror paling pedih adalah tatkala harus menyaksikan kawan-kawannya disiksa dan meregang nyawa. Penjara kemudian menjadi tempat terbaik ia hayati arti pedas kehidupan. Toh, Anantaguna menolak tunduk pada ketakutan. Ia anggap bahwa setiap persoalan harus sanggup ditaklukkan.

Di Pulau Buru, lahirlah puisi-puisinya yang begitu menawan. 13 tahun kebebasannya dirampas tanpa pernah diadili, menulis puisi adalah salah satu bentuk penghiburan, cara bertahan, sekaligus upaya menjaga mental politik dan ideologi. Sebagian besar puisi Anantaguna yang diproduksi dalam penjara-penjara dan buangan, terutama di Pulau Buru. Hingga akhirnya ia dibebaskan pada tahun 1978.


Pasca Pembebasan

Lepas dari penjara Orde Baru tersebut, Antaguna bekerja serabutan untuk bertahan hidup. Jangankan pimpinan Lekra macam dia, anggota biasa saja dikucilkan dari masyarakat. Anantaguna juga kembali ke identitas kecilnya.

Pada 1980, ketika Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengadakan sayembara menulis, Antaguna mengirim naskah berjudul Mewarisi dan Memperbaharui Kebudayaan Nasional. Naskah itu ia kirim atas nama Santoso, dan akhirnya juara satu dan mendapatkan hadiah.

Antaguna tak punya anak. Taty, istrinya terbaring lumpuh di Kalimantan. Anantaguna bersama istri sempat dirawat kerabatnya di Kalimantan selama 6 bulan, namun akhirnya kerabatnya kerepotan harus merawat dua orang usia lanjut yang sakit-sakitan. Anantaguna kembali ke Jakarta, hendak dirawat oleh kawan-kawan lamanya.

Di hari tuanya, sosok jangkung, berkacamata, berjanggut dengan tutur kata lembut ini dihajar penyakit Parkinson, yang membuat tangan dan kakinya mulai tertanggu. Anantaguna masih menolak menyerah. Ia masih rajin menyambangi perpustakaan, mengumpulkan data dan menulis dengan tangan beberapa esai.

Para pegiat Komunitas Mata Budaya yang kerap menemani hari-hari terakhir Anantaguna, masih mengingat jelas pesan Anantaguna padanya: “Menulislah tentang masa kini dan masa depan, karena masa kini sendiri sudah banyak keruwetan”.  Di bangsal rumah sakit, dengan lirih Anantaguna berucap, “Kalau menderita itu sudah biasa, yang repot itu kalau jadi beban orang-orang..”

 
Meninggal Dunia

Sendirian dan sakit-sakitan, bolak-balik masuk rumah sakit dalam rentang dua bulan, hingga akhirnya Antaguna digotong ke RSCM dan tak sadarkan diri selama 8 hari. Pada hari Jum’at tanggal 18 Juli 2014, pukul 1.45 WIB, Antaguna mengembuskan nafas terakhir dalam usia 85 tahun, di di bangsal sederhana  RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Setelah disalatkan usai salat Jumat di masjid yang berjarak 50 meter dari rumahnya, jasadnya dimakamkan di TPU Duren Sawit, Jakarta Timur.


Karya

Puisi Anantaguna kerap dimuat koran Harian Rakjat, organ PKI dengan oplah terbanyak pada 1960-an. Puisinya terangkum dalam kumpulan puisi Yang Bertanah Air Tidak Bertanah (1962), Kecapi Terali Besi (1999), dan Puisi-puisi dari Penjara (2010). Cerita pendeknya, bersama cerpenis A.A. Zubir, Agam Wispi, Sugiarti, dan T. Iskandar A.S. masuk dalam kumpulan cerita pendek Api 26 (1961). Paling monumental adalah Potret Seorang Komunis, yang dipuji Pramoedya Ananta Toer sebagai “prestasi sastra realisme sosialis”.


“Menulislah tentang masa kini dan masa depan, karena masa kini sendiri sudah banyak keruwetan”

S. Anantaguna




Sumber:
S. Anantaguna . Puisi-Puisi dari Penjara. Ultimus, Bandung. Cetakan Pertama, 2010

No comments:

Post a Comment