Wednesday, April 24, 2013

Sejarah Partai Komunis Indonesia (PKI) Part. 1

Periode Tahun 1905 – 1920 (Sejarah Awal Pembentukan)


Latar Belakang


Masa Penjajahan Belanda (tiga setengah abad) yang dirasa tanpa ujung, akhirnya seperti “membangunkan harimau yang sedang tidur”. Awal abad 20, di Indonesia telah terjadi perubahan-perubahan sosial yang besar. Pesatnya perkembangan pendidikan Barat, pertumbuhan penduduk yang meningkat cepat dan munculnya  teknologi modern, serta situasi masyarakat bawah yang semakin memburuk, membuat konsep “Perlawanan” pun akhirnya berubah dari conservative menjadi  cara modern. Sehingga saat itu di Indonesia banyak muncul organisasi-organisasi perlawanan “modern”, dengan berbagai latar belakang “kiblat” pemikiran.

Menurut Soe Hok Gie, “Nilai-nilai tradisional yang telah mengakar di bumi Indonesia, tiba-tiba dikonfrontasikan secara intensif dengan nilai-nilai tradisional mereka (Barat) dan malah ada yang sudah mulai melepaskannya, walaupun pegangan yang baru belum mereka peroleh”, sehingga di tahun tahun tersebut banyak aliran yang saling bertentangan.

Sebelum tahun 1914, grass root atau masyarakat bawah (buruh, petani, kaum miskin) tidak mempunyai organisasi politik dan hanya ada beberapa serikat buruh yang semuanya lemah. Gerakan "nasionalis" dikuasai pemimpin kolot dari kelas menengah yang berdasarkan agama ataupun kaum ningrat, sehingga memisahkan para pemimpin nasionalis ini dengan kondisi sosial yang begitu buruk di kalangan rakyat bawah.

Organisasi pertama yang didirikan oleh kaum muda Indonesia kelas ningrat ialah Budi Oetomo (BO), sebuah organisasi yang dijadikan simbol kebangkitan nasional pada tahun 1908. Aktifitas yang digeluti oleh BO boleh disebut hanya berkutat di bidang pendidikan dan kebudayaan, sedangkan aktifitas politik tidak dilakukan sama sekali. Hal ini adalah keberhasilan politik etis yang diagendakan Belanda. Perkumpulan ini juga dipimpin oleh para ambtenaar, yakni para pegawai negeri yang setia terhadap pemerintah kolonial Belanda. Hal ini pun membuat rakyat dibawah merasa tidak puas dan mencari “aliran” lain yang dianggap lebih mewakili mereka.

Sekitar  90% penduduk Indonesia menganut agama Islam, dan Islam merupakan institusi utama dari masyarakat tradisional yang gagal dilembagakan Belanda dalam kontrolnya yang tidak langsung. Oleh karena itu Islam juga menjadi pusat perlawanan anti pemerintahan asing, walaupun aslinya oposisi ini belum matang dan tanpa bentuk (tidak ada program politik). Hal ini dibuktikan dengan didirikannya organisasi islam terbesar kala itu bernama Serikat Islam, yang merupakan salah satu cikal bakal lahirnya Partai Komunis Indonesia. Gerakan pertama yang berbasis massa bertitik berat bukan pada nasionalisme ataupun program politik, melainkan pada agama.

Lambang Partai Komunis Indonesia

SERIKAT ISLAM

Pada tahun 1905 di Surakarta (Solo), Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI), yang merupakan organisasi ekonomi yang berdasarkan pada agama Islam dan perekonomian rakyat sebagai dasar penggeraknya. Hingga pada tanggal 11 November 1912, dibawah kepemimpinan H.O.S Tjokroaminoto, SDI di ganti dengan nama Syarikat Islam (SI) yang orientasinya bukan sekedar masalah-masalah ekonomi saja, melainkan sudah mencakup kepada seluruh Manhijul hayal ( meliputi segala aspek kehidupan untuk di warnai dengan corak Islam saja).

SI tidak mempunyai program politik di luar "melayani kepentingan kaum Islam ", dan keorganisasiannya longgar sekali. Meskipun demikian keanggotaannya tumbuh dengan pesat dan terutama berpusat di kota. SI berubah menjadi organisasi “perlawanan”rakyat yang memiliki basis massa besar.

Di  dalam  SI  berkumpul kaum  tani,  buruh,  pedagang,  ulama,  cendekiawan  dan borjuis nasional, juga tokoh-tokoh muda yang berjiwa  militan. Tokoh tokoh seperti Soekarno (kemudian membentuk PNI), Kartosoewiryo, dicatat pernah bergabung di Serikat Islam. Selama di bawah kepemimpinan HOS Tcokroaminoto, SI di seluruh daerah mencapai 435 cabang di dukung oleh jutaan anggota. Secara grafikal hal ini mencerminkan pencarian masyarakat bawah untuk menemukan alat perjuangan guna melawan kondisi mereka yang makin memburuk. SI gagal total memenuhi kebutuhan ini, meskipun demikian, karena tidak ada pilihan, kegiatan massa tetap terfokus padanya.


H.O.S Tjokroaminoto

ISDV

Lahirnya ISDV
Pada tahun 1908, di Indonesia berdirilah sindikat buruh kereta api Vereeniging Van Spoor en Tramweg Personeel (VSTP), organisasi pertama yang dibentuk bagi buruh-buruh non Eropa, juga perkumpulan Budi Oetomo (BO), yang dinyatakan oleh para sejarawan Indonesia sebagai perkumpulan pertama yang "berkesadaran nasional" dan yang hari lahirnya, 20 Mei 1908, diperingati sebagai "hari Kebangkitan Nasional." Kemunculan serempak dua jenis organisasi tersebut, bukanlah karena kebetulan, ia mencerminkan adanya kebutuhan baru bagi berbagai lapisan masyarakat Hindia Belanda, yang berada di bawah suatu tekanan yang sama.

Tahun 1913, seorang bekas ketua sindikat buruh kereta api Belanda di tahun 1911, sekaligus aktivis Sosialis Belanda bernama Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet, atau Henk Sneevliet, datang ke Indonesia. Sneevliet juga seorang penggerak sayap kiri Partai Sosial Demokrat, partai politik yang menyatakan dirinya  mewakili kepentingan murni gerakan buruh, kelas buruh, kelas yang paling baru dan paling terhisap dalam masyarakat modern, kelas yang sambil menghentikan eksploitasi terhadap dirinya, sekaligus membebaskan masyarakat modern seluruhnya.

Sejak kedatangannya, Sneevliet giat mempropagandakan paham-paham sosialis. Tanggal 9 Mei 1914, bertempat di kantor VSTP, Sneevliet mendirikan ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereniging) atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda, suatu Partai yang didasarkan pada prinsip-prinsip sayap kiri organisasi buruh yang menghimpun intelektual - intelektual revolusioner bangsa Indonesia dan Belanda.

Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP (Partai Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda. Pada saat itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun demikian, partai ini dengan cepat berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis. Di bawah pimpinan Sneevliet partai ini merasa tidak puas dengan kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari ISDV. Pada 1917, kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri dan membentuk partainya sendiri, yaitu Partai Demokrat Sosial Hindia.

Sikap anggota ISDV yang tersisa menjadi semakin militan terhadap isu-isu lokal dan juga melibatkan diri dalam pergerakan nasional. Sehingga Sneevliet dan ISDV-nya makin digemari dan dihormati masyarakat bawah militan Indonesia, karena berani dan berprinsip dalam hal politik lokal. Sneevliet berpendapat bahwa sebab dari kesengsaraan rakyat Indonesia adalah akibat dari struktur masyarakat tanah jajahan yang diperas oleh kaum kapitalis, walaupun pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan Indonesia.

Kesuksesan ini meraih hormat bagi gerakan sosialis, dan memungkinkan Sneevliet merekrut para aktivis buruh ke dalam ISDV. Sehingga dalam waktu singkat anggota serikat ini menjadi dua kali lipat, dan sebagian besar pribumi.


Hubungan ISDV dan Sarekat Islam
Faktor pengaruh Sneevliet yang terpenting, salahsatunya ada pada Semaoen (17 tahun), karyawan muda di bagian administrasi jawatan kereta api Surabaya, yang pada tahun 1914 menjadi anggota komite pimpinan VSTP (sindikat buruh kereta api) yang juga kader Serikat Islam di Semarang. Sneevliet juga berhasil mempengaruhi sekelompok angkatan muda dari Serikat lslam baik di Semarang maupun di kota-kota lainnya seperti Musso, Alimin, Darsono, Haji Misbach, Mas Marco Kartodikromo dan lain-lainnya. Dari Sneevliet-lah mereka belajar menggunakan analisis Marxistis untuk memahami realitas sosial yang dialami.

Dengan konsep perjuangan yang dianggap sama (anti kapitalis), tanpa disadari Sneevliet telah membangun “blok merah” di Serikat Islam. Hingga pada akhirnya para aktivis SI tersebut menjadi kader Sneevliet. Taktik yang dipergunakan oleh Sneevliet untuk bisa bekerja sama dengan SI adalah infiltrasi yang dikenal dengan nama “blok dari dalam”. Dalam infiltrasi ini, anggota ISDV dijadikan  anggota  SI  dan  anggota  SI  dijadikan  anggota  ISDV. Inilah yang menjadi awal perpecahan Serikat Islam kedepannya.

Disisi lain, liberalisme Belanda tidak mendorong perjuangan buruh. Pemogokan dibalas dengan PHK massal, pembuangan para aktivis ke pulau-pulau terpencil, dan tindakan apa saja yang perlu untuk menghancurkan gerakan buruh. Dalam periode ini jarang sekali pemogokan buruh menemui kesuksesan. Namun demikian, partai ini semakin besar dan dengan cepat berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis. Juga semakin banyak anggotanya termasuk dari Sarikat Islam yang “disusupi”.

Banyak masalah sulit yang dihadapi oleh ISDV di periode awal bangkitnya gerakan politik massa ini. Pada periode tahun 1915-1918 penguasa Belanda menanggapi gerakan massa yang tumbuh dengan mendirikan "Volksraad" (semacam Dewan di parlemen) yang bertujuan membendung militansi massa. ISDV (berlawanan dengan pimpinan nasionalis dan ISDP)pada mulanya memboikot badan ini, tetapi kemudian membatalkan keputusan itu ketika mulai jelas bahwa Volksraad itu dapat dimanfaatkan sebagai medan propaganda revolusioner.
Henk Sneevliet

SERIKAT ISLAM SEMARANG

Serikat Islam Semarang merupakan salah satu cabang SI di bawah SI pusat atau Central Sarikat Islam. SI Semarang awalnya dikenal sebagai organisasi yang “lembek” dan dipimpin oleh kalangan kaum menengah dan pegawai negeri.  Tanggal 6 Mei 1917, terjadi pergantian pengurus, dan presiden Sarekat Islam Semarang yang baru adalah Semaoen (19 Tahun),  yang juga kader Sneevliet dan anggota ISDV. Kini di bawah pimpinan Semaoen, para pendukung SI berasal dari kalangan kaum buruh dan masyarakat bawah.

Proses perevolusioneran SI Semarang ini bukan saja dipengaruhi ajaran “kiri” dari Sneevliet, tapi didukung juga dengan keadaan sosial yang semakin buruk, seperti persoalan agraria, kekecewaan pada pemerintah, juga beberapa pengaruh dari luar seperti Revolusi Rusia Oktober 1917 (dimana akhirnya komunis berkuasa).


Kaum Marxis Pertama di Indonesia
 
SI semarang pun bertekad untuk menentang kapitalisme dengan cara mengorganisasi masyarakat bawah, sehingga membuat SI Semarang menjadi lebih luas, merakyat, militan dan  bergeser ke arah Sosialis revolusioner. Dari sini lahirlah gerakan kaum Marxis pertama di Indonesia (walaupun belum secara harfiah).

Setelah mempengaruhi para pimpinan SI Semarang, Semaoen dan kawan-kawannya juga “mempengaruhi” para anggota Sarekat Islam cabang lainnya dengan konsepsi-konsepsi “kiri”nya, sehingga banyak menimbulkan pro dan kontra dari pengurus SI lainnya. Seperti pada Kongres Nasional Sarekat Islam ke-2 di Jakarta yang diselenggarakan dari tanggal 20 hingga 27 Oktober 1917, yang membahas hubungan antara agama, kekuasaan dan kapitalisme. Tema yang menimbulkan perdebatan keras dan kerenggangan (perpecahan) di dalam SI.

Salah satu yang menolaknya adalah kelompok Abdoel Moeis (Tokoh SI), yang memang dari awal sudah tidak setuju akan adanya penyusupan ke tubuh SI. Akibatnya Sarekat Islam menjadi terpecah. Walaupun pada masa ini perpecahan baru sekedar isu dan belum di bahas secara formal, namun Semaoen dan SI Semarang pun berhasil mempengaruhi hampir separuh jumlah SI cabang-cabang lainnya, sehingga kader-kader nyapun bertambah hampir di setiap cabang Sarikat Islam. Tanpa disadari, SI pun semakin bergeser kearah “kiri”.

Pergeseran SI Semarang ke kiri, membuat pemerintah Belanda tak tinggal diam. Tapi malah lebih memilitankan anggota SI dan membuat iklim politik di Indonesia semakin panas. Kaum buruh diorganisasi supaya lebih militan dan mengadakan pemogokan terhadap perusahaan-perusahaan yang sewenang-wenang. SI pun dituduh terlibat dalam gerakan untuk menggulingkan belanda. Pada tahun 1918, para pemimpin SI "kiri" ditangkap, mulai dari Sneevliet (di buang Belanda), Darsono, Semaoen dan lain - lain.

Penindasan itu, lagi-lagi malah lebih mengembangkan dan memilitankan Sarekat Islam Semarang. Pada awal tahun 1919, penghimpunan massa diintensifkan. Seperti Sarekat Islam Seksi Perempuan, Sarekat Kere (gembel tionghoa), Persatuan Wartawan Indonesia (muncul kembali sejak tahun 1915), Perkumpulan diskusi, dan lain lain. SI Semarang juga melakukan banyak sekali aksi - aksi petani serta pemogokan buruh. Misalnya saja seperti Peristiwa Toli-toli atau kerusuhan Juni 1919 dan aksi di Cimareme, leles garut.  Juga pada bulan  Februari 1920, terjadi pemogokan buruh percetakan, seperti pemogokan buruh surat kabar van dorp dan de locomotif dan lain-lainnya.   

Semaoen

Partai Komunis Indonesia (PKI)


Dari  pertemuan antara Sarekat Islam dengan sindikat buruh VSTP dan Partai sosialis kecil ISDV ditambah dari dorongan ke "kiri" Sarekat Islam di bawah pengaruh VSTP dan ISDV (dorongan ke kiri itu bisa dibuktikan dalam evolusi berbagai pernyataan SI pada kongres tahun 1916 dan 1920) yang dinamis dengan semboyan egalitarian "Sama Rata Sama Rasa", kemudian lahirlah Partai Komunis Indonesia, yang dari ISDV memperoleh basis kelasnya dan dalam Sarekat Islam mendapat basis massanya.

Sebenarnya tidak ada perbedaan antara ISDV dengan Serikat Islam Semarang. Di dalam proses perkembangannya ISDV semakin radikal. Banyak pengurusnya berkebangsaan Belanda, diusir penguasa Kolonial dari Indonesia, sedangkan orang-orang Indonesia mulai memasukinya. Akhir tahun 1917/1918, Sneevliet bahkan dibuang pemerintah, karena dianggap menentang belanda. Tahun 1918, ISDV praktis sudah menjadi perkumpulan orang  Indonesia, yang juga kebanyakan masih anggota Serikat Islam.

Awal Terbentuknya PKI
Pada awal 1920, ISDV menerima surat dari Haring (nama samaran Sneevliet, yang sebelumnya di usir Belanda) di Shanghai China, yang menganjurkan agar ISDV menjadi anggota Komunis Internasional (Komintern) yang berpusat di Moscow, Rusia. Untuk itu harus dipenuhi 21 syarat, antara lain memakai nama terang partai komunis dan menyebut nama negaranya.

Akhirnya pada tanggal 23 Mei 1920, para aktivis ISDV seperti Semaoen,Darsono (juga anggota Serikat Islam) dan Douwes Dekker, memutuskan untuk mengganti nama ISDV menjadi Perserikatan Komunis Hindia (PKI). Kata "perserikatan" dalam bahasa Melayu merupakan terjemahan dari kata Belanda "Partij", sedangkan nama PKI itu sendiri, menurut dokumen awal dari organisasi tersebut, merupakan kependekan dari bahasa Melayu "Perserikatan  Komunis di India," (orang Belanda menyebut wilayah Indonesia dulu dengan "India") yang bila di Belandakan menjadi "Partij der Kommunisten in Indie".

Semaoen dipilih sebagai ketua, Darsono wakil ketua, Bergsma sekretaris, dan Dekker menjadi bendahara. Secara formalnya Perserikatan Komunis Di Hindia memang lanjutan dari ISDV, yang sebagian anggotanya masih tercatat sebagai anggota Sarikat Islam.

Tujuh bulan kemudian, Perserikatan Komunis Di Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia, dengan alasan, nama “Partai Komunis Indonesia” menurut mereka lebik mencerminkan prinsip perjuangan partai itu.

Versi lain mengatakan perubahan nama dilakukan pada saat kongres bulan Juni 1924 di Weltevreden (sekarang Jakarta Pusat), ini merupakan pertama kalinya di Hindia Belanda, sebuah organisasi memakai kata "Indonesia". Sebetulnya sejak tahun 1922 sudah terdapat sebuah organisasi politik yang bernama Indonesiche Vereeniging, yang kemudian diterjemahkan menjadi Perhimpunan Indonesia. Tapi organisasi tersebut berada di Nederland, bukan di negeri sendiri.

Seperti yang tertulis dalam diktat untuk KPS dan KPSS tentang "Pembangunan Partai" yang disusun oleh Depagitprop CC PKI di Jakarta 1958, bahwa “Lahirnja PKI merupakan peristiwa jang sangat penting bagi perdjuangan kemerdekaan Rakjat Indonesia. Pemberontakan kaum tani jang tidak teratur dan bersifat perdjuangan se-daerah atau se-suku dalam melawan imperialisme Belanda, jang terusmenerus mengalami kegagalan, sedjak PKI berdiri, mendjadi diganti dengan perdjuangan proletariat jang terorganisasi dan jang memimpin perdjuangan kaum tani dan gerakan revolusioner lainnja”.


PKI tahun, Jakarta
tahun 1925



Sumber :
1.       Soe Hok Gie. Dibawah Lentera Merah. Jakarta . 1964.
2.       Jacques Leclerc , Aliran Komunis: Sejarah Dan Penjara
3.       Simpang Kiri, Partai Komunis Indonesia
4.       Orang Kiri Indonesia. Musso Si Merah Di Simpang Republik. Seri Buku Tempo. 2011.
5.    Depagitprop CC PKI, 1958, Apa Partai Komunis Itu, diktat untuk KPS dan KPSS tentang “Pembangunan Partai,” Jakarta.
6.       Sejarah Berdirinya NII, NCC.
8.       Jaman Bergerak Di Hindia Belanda, Edi Cahyono







Tuesday, April 2, 2013

“Genjer – genjer”, Sebuah Lagu Sederhana dengan Kisah Yang Tidak Sederhana

Lagu genjer – genjer merupakan salah satu lagu berbahasa jawa (lebih tepatnya bahasa osing, yaitu bahasa atau dialek khas Banyu wangi, Jawa Timur), yang pernah berjaya di era tahun 60 an. Lagu ini memang bukan salah satu lagu perjuangan yang sering diajarkan di sekolah ketika zaman Sekolah Dasar dulu, tapi lagu ini mempunyai history yang sangat panjang dan menjadi saksi bisu diantara kontroversi tentang sejarah Indonesia saat itu, terutama isu Komunisme.

Lagu yang sempat menjadi  tabu ini memang mempunyai sejarah yang “kelam”, sekelam sejarah Indonesia  saat itu. Lagu ini juga menjadi saksi sejarah kekuasaan dari zaman ke zaman, terlebih zaman Orde baru yang dikepalai sang maha laknak, Soeharto, yang secara formal telah melarang beredarnya lagu ini. Sebuah maha karya seni yang menjadi korban manipulasi tanpa argumentasi kekejaman politik dan kekuasaan penguasa otoriter.

"Genjer -genjer", Sebuah lagu rakyat yang sederhana, gelap, suram, “angker” dan misterius.
Berikut kisahnya…


Sejarah Lagu Genjer – genjer

Sebelum tahun 1942, wilayah Kabupaten Banyuwangi (Jawa Timur) merupakan daerah yang sangat subur dan makmur, sehingga secara ekonomi warga tidak merasa kekurangan. Namun semenjak kedatangan Jepang ke Indonesia (1942-1945), keadaan berubah sebaliknya. Anak – anak muda yang masuk usia produktif (terutama pria), ditangkap dan dijadikan sebagai perkeja Romusha (kerja paksa ala Jepang), untuk di kirim ke seluruh daerah di Nusantara bahkan sampai ke daerah Indo China (Thailand, Kamboja, Vietnam, Burma dan Laos ). Mereka dipekerjakan di camp militer Jepang yang sedang berperang dengan sekutu waktu itu. 

Akibat ulah Jepang tersebut, lahan pertanian menjadi tidak terurus. Banyuwangi menjadi daerah yang miskin hingga kekurangan bahan pangan, dan banyak masyarakat menjadi  kelaparan hingga meninggal dunia.  Sampai salah satu efeknya, masyarakat harus mengolah daun genjer (limnocharis flava), sejenis eceng gondok, untuk dijadikan makanan. Sebelumnya, oleh masyarakat Banyuwangi, tanaman genjer, yang biasanya terdapat di sungai,  dianggap sebagai tanaman gulma atau pengganggu dan sebagai makanan hewan ternak seperti ayam dan babi.

Situasi sosial semacam itulah yang akhirnya menjadikan  seorang Muhammad Arief, seniman angklung asal Banyuwangi, terinspirasi untuk menciptakan sebuah lagu berjudul "genjer-genjer" sekitar tahun 1942/1943, pada saat  istri Muhammad Arief, Ny. Suyekti, menyuguhkan masakan sayur genjer kepadanya.

Lagu ini menceritakan tentang keadaan masyarakat miskin di Banyuwangi kala itu, yang sampai harus makan daun genjer, karena kekurangan makanan. Lagu ini juga merupakan bentuk sindiran buat penguasa Jepang yang sudah membuat masyarakat Banyuwangi menjadi miskin. Lagu "genjer -genjer" diadaptasi dari lagu rakyat berjudul “Tong Alak Gentak”  ali-ali moto ijo, yang sudah lebih dulu melegenda di Banyuwangi. Dengan mengganti liriknya, lagu tersebut akhirnya dengan cepat menjadi lagu populer di masyarakat Banyuwangi kala itu.




Pohon Genjer

Lirik Lagu Genjer - genjer


Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Emak'e thole teko-teko mbubuti genjer
Emak'e thole teko-teko mbubuti genjer
Ulih sak tenong mungkur sedhot sing tolah-toleh
Genjer-genjer saiki wis digowo mulih

Genjer-genjer esuk-esuk didol ning pasar
Genjer-genjer esuk-esuk didol ning pasar
Dijejer-jejer diuntingi podho didhasar
Dijejer-jejer diuntingi podho didhasar
Emak'e jebeng podho tuku nggowo welasah
Genjer-genjer saiki wis arep diolah

Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak
Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak
Setengah mateng dientas yo dienggo iwak
Setengah mateng dientas yo dienggo iwak
Sego sak piring sambel jeruk ring pelonco
Genjer-genjer dipangan musuhe sego

Terjemahan Bahasa Indonesia

Genjer-genjer di petak sawah berhamparan
Genjer-genjer di petak sawah berhamparan
Ibu si bocah datang memunguti genjer
Ibu si bocah datang memunguti genjer
Dapat sebakul dia berpaling begitu saja tanpa melihat ke belakang
Genjer-genjer sekarang sudah dibawa pulang

Genjer-genjer pagi-pagi dijual ke pasar
Genjer-genjer pagi-pagi dijual ke pasar
Ditata berjajar diikat dijajakan
Ditata berjajar diikat dijajakan
Ibu si gadis membeli genjer sambil membawa wadah-anyaman-bambu
Genjer-genjer sekarang akan dimasak

Genjer-genjer masuk periuk air mendidih
Genjer-genjer masuk periuk air mendidih
Setengah matang ditiriskan untuk lauk
Setengah matang ditiriskan untuk lauk
Nasi sepiring sambal jeruk di dipan
Genjer-genjer dimakan bersama nasi

 
Lagu Genjer –genjer dan  PKI

Setelah masa kemerdekaan, tepatnya pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966), ketika iklim situasi politik di Indonesia memang sedang berada pada puncaknya, banyak partai – partai politik berbagai aliran berdiri waktu itu, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Nahdatul Ulama(NU) dan Partai Rakyat Indonesi (PKI).

Partai – partai tersebut melakukan kampanye besar-besaran untuk meningkatkan popularitas dan mencari simpati masyarakat Indonesia sebanyak -banyaknya. Salah satunya lewat jalur kesenian, karena kesenian merupakan salah satu “hiburan alternatif” masyarakat Indonesia, sehingga menjadi salah satu cara efektif untuk merekrut simpatisan partai. Partai – partai tersebut  membuat organisasi afiliasi berbasis kesenian dan menggandeng para seniman utuk bergabung bersama mereka. Sebut saja PNI yang membentuk Lembaga Kesenian Nasional (LKN), Partai NU membentuk Lesbumi, Masyumi membentuk Himpunan Seni dan Budaya Islam (HSBI), serta PKI yang membentuk Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra).

Cerita berawal pada tahun 1962 saat Njoto, seniman dan salah satu aktivis Lekra yang juga simpatisan PKI, mampir  ke Banyuwangi, saat dalam perjalanan menuju Bali.  Saat itu lagu “genjer –genjer”  ditampilkan oleh para seniman Banyuwangi  untuk menghiburnya. Njoto yang memang berjiwa seni tinggi, memiliki naluri bahwa lagu ini akan banyak disukai masyarakat Indonesia kedepannya, selain daripada lirik lagu ini yang memang mewakili keadaan bangsa Indonesia saat itu.

Sampai akhirnya Njoto menggandeng para seniman Banyuwangi, termasuk Muhammad Arif, untuk bergabung bersama Lekra. Sejak digandeng Lekra, “seni Banyuwangi”an semakin dikenal luas. Banyak lagu-lagu Banyuwangi yang sering dinyanyikan di acara – acara PKI dalam berbagai macam kesempatan. Termasuk lagu Genjer-genjer, juga lagu lainnya seperti lagu Nandur Jagung dan lagu Sekolah.

Bahkan seiring perkembangannya, Muhammad Arief (selain seniman, dia juga mantan tentara),sang pencipta lagu "genjer - genjer", ditempatkan sebagai anggota DPRD Kabupaten Banyuwangi, mewakili PKI. Seniman yang dulu bernama Syamsul Muarif itu juga diminta membuat lagu yang senapas degan ideologi PKI lainnya, seperti lagu berjudul Ganefo, 1 Mei, Harian Rakyat, Mars Lekra dan Proklamasi.


Lembaga Kesenian Rakyat (LEKRA)


Popularitas Lagu Genjer –genjer Di Era 1960 an


Dugaan Njoto ternyata benar, tak lama kemudian, lagu "Genjer-genjer" menjadi sangat populer ke seantero Nusantara. Apalagi di tahun 1960 an, lagu itu sering dibawakan penyanyi-penyanyi “beken” era itu, seperti Lilis Suryani dan Bing Slamet (dalam albumnya “mari bersuka ria” pada tahun 1965), dan sempat dibikin vinyl (piringan hitam).  Lagu itu seakan menjadi lagu wajib yang sering diputar di TVRI dan RRI (dua media nasional yang ada saat itu). Saking terkenalnya bahkan kemudian muncul pengakuan dari Jawa Tengah, bahwa lagu "genjer - genjer"  ternyata diciptakan oleh Ki Narto Sabdo seorang dalang kondang dan seniman yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) yang bernaung di bawah PNI, asal Semarang, yang pada akhirnya terbukti bahwa Ki Narto Sabdo hanya mempopulerkannya saja

pada setiap penampilannya.

Terlepas dari berbagai polemik dan sejarahnya, lagu “genjer – genjer” semakin populer di Indonesia. Tapi disisi lain, stigma masyarakat  semakin menganggap dan mengasosiasikan lagu “genjer – genjer” sebagai lagu propaganda PKI.



Bing Slamet

Pencekalan lagu Genjer - genjer

Peristiwa "berdarah" Gerakan 30 September 1965 yang melibatkan Partai Komunis Indonesia, membuat rezim Orde Baru yang memang "anti-komunisme", menerapkan politik "bumi hangus", yaitu menghancurkan segala yang berhubungan dengan komunis. Mulai dari tokoh – tokohnya, orang – orang yang terlibat, anak cucu dan keturunannya, sampai termasuk semua “produk”  yang dilahirkan oleh orang-orang komunis. Sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan komunis dianggap  “haram” hukumnya dan wajib untuk dilenyapkan.

Fenomena ini terjadi juga di Banyuwangi, dimana Muhammad Arief, pencipta lagu "Genjer-genjer", ditangkap dan “hilang” (tidak pernah terungkap hingga kini) dalam aksi "pembersihan" terhadap komunis di tahun 1966-1967 di Indonesia, akibat dianggap terlibat dengan PKI. Juga tidak ketinggalan karyanya  lagu “genjer – genjer”, yang memang sudah terlanjur ber image PKI, ikut di “bumi hangus”kan. Sampai akhirnya pemerintah mencekal dan melarang disebarluaskannya lagu ini.

Ada beberapa kesalahan alasan versi “Orde Baru” terkait pencekalan lagu ini yang selalu dikaitkan dengan idiologi komunis, yaitu :
  1. Sejak awal, lagu ini diciptakan oleh Muhammad Arif yang notabene seorang seniman Lekra yang disinyalir dibawah PKI. Juga lagu ini dikembangkan pula oleh kalangan komunis. Walaupun pada perkembangannya  di era tahun 1960-an, lagu ini tidak hanya digemari oleh kalangan komunis saja, tetapi juga masyarakat secara luas. Sebuah kekeliruan rezim orde baru, karena  lagu ini sebenarnya terinspirasi saat penjajahan Jepang.
  2. Para anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan Pemuda Rakyat -keduanya  juga disinyalir organisasi dibawah PKI-, menyanyikan lagu ini ketika para jendral  diculik, diinterogasi dan disiksa di lubang buaya Jakarta. Sehingga semakin memperjelas bahwa lagu ini mempunyai "hubungan intim" dengan PKI. Peristiwa ini juga digambarkan pada film Pengkhianatan G 30 S/PKI karya Arifin C. Noer, yang merupakan “pesanan” Pemerintah rezim Orde Baru. Tapi akhirnya banyak bukti yang meyakinkan bahwa film G 30 S/ PKI merupakan film "fiksi" yang  banyak penyimpangan dan kebohongan publik, sehingga ini merupakan kesalahan penilaian selanjutnya orde baru terhadap lagu "genjer - genjer.
  3. Ketika peristiwa G 30 S tahun 1965 terjadi, Harian KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), disinyalir juga memplesetkan lagu "genjer-genjer" menjadi "jendral-jendral", sehingga maknanya menjadi berbeda. Dengan alasan itu, semakin mempertegas lagi lagu ini untuk segera di cekal dan dilarang peredarannya. Padahal, beberapa seniman di Banyuwangi yang pertama kali mempopulerkan lagu ini, merasa tidak tau apa – apa tentang plesetan lirik lagu ini, dan merasa heran oleh pihak - pihak yang mendiskreditkan lagu ini.
          Perubahan lirik lagu "genjer - genjer" versi KAMI menjadi


          Jendral Jendral Nyang Jakarta pating keleler
          Emake Gerwani, teko teko nyuliki jendral
          Oleh sak truk, mungkir sedot sing toleh-toleh
          Jendral Jendral saiki wes dicekel
          Jendral Jendral isuk-isuk pada disiksa
          Dijejer ditaleni dan dipelosoro
          Emake Gerwani, teko kabeh milu ngersoyo
          Jendral Jendral maju terus dipateni



Salah Satu Adegan "Rapat PKI" di Film G 30 S/ PKI


Dengan beberapa alasan tersebut, maka semakin mengukuhkan pemerintah rezim orde baru untuk segera mem "bumi hangus"kan lagu “genjer – genjer” di bumi Indonesia. Siapa pun yang tetap menyanyikan lagu ini akan dianggap melawan hukum dan ditangkap oleh aparat keamanan, tentu saja dengan tuduhan komunis. Bahkan termasuk  juga beberapa lagu lainnya yang memang mempengaruhi unsur kesadaran politik pada masyarakat. Inilah salah satu dosa besar rezim Soeharto dalam pembodohan publik!.





Lagu Genjer – genjer Pasca Orde Baru

Pada tahun 1998, setelah tumbangnya rezim Soeharto, Indonesia memasuki era baru, era dimana mulai terkuaknya  kembali sejarah – sejarah lama yang mengandung unsur kebohongan publik. Pemerintah yang mempunyai wewenang otoritas regulasi, mencoba melakukan babak politik baru, dimana konsep kebebasan berekspresi menjadi semakin terbuka lebar.

Salah satunya masalah hubungan politik dan kebudayaan. Termasuk larangan penyebarluasan lagu "genjer-genjer", yang  secara formal telah berakhir, seiring berakhirnya pula hukuman "bumi hangus" terhadap beberapa produk "kiri". Walaupun sebenarnya masih ada beberapa kasus stigmatisasi terhadap lagu ini oleh beberapa pihak. Misalnya  saja tahun 2009 yang terjadi di Solo, ketika ada sekelompok "laskar" yang mendemo salah satu stasiun radio disana, pada saat radio tersebut memutarkan lagu "genjer - genjer". Tapi ya sudahlah, ini Indonesia, negara rancu dengan berjuta kontroversi. Hanya buang - buang energi kalo kita hanya membahas kontroversi walaupun dengan argumen yang jelas, yang ujungnya hanya akan bermuara ke penguasa (*pemerintah) sebagai regulator.

Bagi masyarakat luas saat ini, lagu "Genjer-genjer" memang sudah mulai di terima dan di apresiasi dibalik berbagai macam kontroversinya. Bahkan sebenarnya dari dulu, tetapi dulu mungkin kita "males" beruurusan dengan berbagai macam "tetek bengek"nya. Ini terbukti dengan banyak beredarnya  lagu ini melalui berbagai ruang publik dan media secara bebas. Salah satunya internet. Sehingga kita bisa dengan mudah dan bebas  mengakses lagu ini,  sebebas dari hakikat seni itu sendiri. 

Ada beberapa cover version lagu "genjer - genjer" yang bisa kita lihat di situs youtube atau beberapa situs lainnya di internet. Selain dari Bing slamet dan Lilis Suryani yang memang sudah lebih dulu ngetop membawakan lagu ini dengan versi “oldskool “nya, ada beberapa musisi lainnya juga yang  membawakan lagu ini versi mereka,seperti :
  1. Tika & The Dissident, yang menyanyikan lagu ini dengan aransemen kontemporer versi live,  dengan tanpa mengurangi ke “angker”an lagu tersebut.
  2. Dengue Fever, musisi asal   Los Angeles, Amerika ini juga membawakan lagu "genjer - genjer" lewat vokalis wanitanya dengan menggunakan bahasa Khmer (bahasa Kamboja). 
  3. Filastine, yang berkolaborasi dengan komunitas Taring Padi  dari Yogyakarta yang membuat project  video lagu  "genjer - genjer"  dengan versi electronic music
  4. That Tomi Simatupang Incarnation, sebuah band project dari  pria asal Yogyakarta yang tinggal di luar negri juga pernah melaunching lagu ini di Berlin, Jerman
Juga banyak musisi lainnya seperti Gestapu, band asal Yogyakarta, Jawaika (versi Reggae), atau  Dubyouth dan musisi lainnya yang sering membawakan lagu ini disetiap performance mereka.

Lagu "genjer - genjer" memang sangat fenomenal, semoga karya besar ini bisa menghiasi dan semakin memperkaya kebudayaan dunia musik Indonesia tanpa harus melihat sejarah kultural, agama, politik dan berbagai latar belakang lainnya. Apalagi harus menjadi lagu traumatis yang "katanya" akan membuka luka lama yang menakutkan. Tidak ada yang bisa membelenggu kebebasan lagu ini, terlebih politik. Bahkan seharusnya lagu “genjer –genjer” bisa  dijadikan sebagai simbol budaya, kesederhanaan dan simbol perlawanan.

Merdeka!!




Dubyouth


Dari Berbagai Sumber

Monday, April 1, 2013

Propaganda Film G 30 S PKI

Tentang Film G30 S PKI






Narasi pembuka :

"Cita-cita perjuangan kami untuk menegakkan kemurnian Pancasila tidak mungkin dipatahkan hanya dengan mengubur kami dalam sumur ini".



Pada suatu subuh 13 Januari di Desa Kanigoro, dekat kota Kediri tahun 1965, warga desa sedang melakukan sholat subuh berjamaah. Ditempat lain terlihat beberapa orang tak dikenal mengambil clurit di bilik bambu dan berjalan bergerombol menuju ke suatu tempat. Setelah salam, imam memimpin untuk berdo’a, lalu tiba – tiba masjid itu diserang segerombol orang tak dikenal tadi. Ada yang membawa clurit , golok, bambu dan beberapa senjata tajam lainnya.

Mereka menyerang imam dan jema’ah masjid tersebut secara membabi buta, tanpa alasan yang jelas. Beberapa jemaa’ah melarikan diri. Gerombolan tersebut menganiaya para jema’ah dan merusak serta menginjak – nginjak rak berisi Kitab suci AlQur’an di masjid tersebut. Gerombolan orang tak dikenal tadi, diceritakan sebagai simpatisan dari partai berlambang palu arit yang digambarkan sangat jahat dan biadab dan terkesan anti agama.

Adegan diatas merupakan salah satu “opening”di dalam  Film kolosal buatan anak negri, yang berjudul Penghianatan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G30 S/ PKI. Film ini menceritakan tentang penumpasan  aksi PKI, salah satu partai komunis terbesar di dunia, yang pernah Berjaya di republik ini oleh TNI yang dikomando oleh Soeharto.

Diceritakan PKI merencanakan melakukan makar (penggulingan kekuasaan) terhadap rezim Soekarno(Presiden Indonesia pertama), dengan cara membunuh para Dewan Jendral (yang terdiri dari para jendral Angkatan Darat), yang di sinyalir anti PKI. Juga aksi – aksi simpatisan seperti di awal adegan tadi dan aksi – aksi “jahat” lainnya.

Sampai pada akhirnya, tokoh – tokoh PKI dan simpatisan yang terlibat, ditangkap dan dihukum mati oleh pemerintah.



Produksi           : Tahun 1984 

Sutradara          : Arifin C Noer

Pemain            : Umar Kayam (Soekarno),  Amoroso Katamsi (Soeharto), Syu’bah Asa (DN Aidit), dan   lain – lain.

Durasi               :  220 Menit

Rekor               : Biaya produksi terbesar, Rp. 800 juta (Jumlah yang besar waktu itu), film terlaris pertama di Jakarta pada 1984 dengan 699.282 penonton (belum terpecahkan hingga 1995), penghargaan Piala Citra untuk Penulis Skenario Terbaik pada 1985 dan film penghargaan Piala Antemas untuk kategori film unggulan terlaris 1984-1985.

Tujuan Film G30 S PKI


Film ini merupakan film karya besar rezim Soeharto sebagai penguasa pada saat itu, dan merupakan propaganda anti PKI, yang mana film ini merupakan versi resmi pemerintah Orde Baru yamng dipimpin Soeharto, terkait gerakan pada 30 September 1965. Yang akhirnya peristiwa itu berbuntut tumbangnya Soekarno yang digantikan rezim Soeharto yang dianggap sebagai pahlawan dalam usahanya memberantas PKI.



Di awal film terdapat  logo PPFN (Pusat Produksi Film Negara), salah satu badan usaha milik pemerintah waktu itu, sebagai bukti film ini “direstui “dan “dipesan”oleh Soeharto. Sehingga film ini di harapkan mampu membuat opini publik terhadap PKI, dan lain –lainnya , seperti yang digambarkan pada film tersebut.




Film Kontroversial


Menurut para saksi dan berbagai ahli sejarah di berbagai sumber, ternyata film ini banyak memuat cerita dan adegan “fiksi”, yang tidak berdasarkan kenyataannya. Film ini disinyalir sebagai upaya pembelokan sejarah rezim Soeharto dan antek – anteknya, dengan sejumlah fantasinya, demi kekuasaan dan hegemoni massal melalui media Film, yang dengan sendirinya menambah kuat legitimasi Soeharto sebagai penguasa pada waktu itu.



Adegan – adegan tersebut secara sepihak, banyak menyudutkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai ancaman stabilitas negara dan keterlibatan oknum – oknum lain di dalamnya.Juga kontroversi - kontroversi lain didalamnya.



Bentuk kontroversial tersebut antara lain :

1. Pembunuhan para Jendral di lubang buaya


Di film itu diceritakan adegan “horror” ketika para jendral dibunuh dengan sadis oleh simpatisan PKI. Padahal  dari hasil visum dan otopsi, juga beberapa saksi wartawan yang melihat langsung, sama sekali tidak ditemukan tanda-tanda penganiayaan sadis, seperti pencungkilan bola mata, penyiletan, sundutan rokok, pemotongan alat kelamin dan lain – lain, yang dilakukan oleh anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) -sebagai salah satu organisasi wanita terbesar waktu itu- dan Pemuda Rakyat, dua organisasi diduga dibawah PKI, seperti yang diberitakan oleh media massa yang dikuasai Angkatan Darat ketika itu. Dari hasil visum dan otopsi  Para korban itu jelas mati dibunuh dengan tembakan pasukan Cakrabirawa.

Adegan ini juga berbuntut ke salah satu diorama yang terdapat di Monumen Lubang Buaya Pancasila Sakti, yang menggambarkan serupa adegan di film.



2. Keterlibatan Angkatan Udara


Lokasi kejadian pembunuhan para jendral  yaitu di lubang buaya, dimana daerah Lubang Buaya termasuk lapangan Halim, yang jelas dikuasai Angkatan Udara (dahulu AURI). Jadi secara tidak langsung Soeharto menuduh adanya oknum – oknum Angkatan Udara yang terlibat. Angkatan Udara dituduh Soeharto melatih anggota Pemuda Rakyat dan Gerwani. Diatambah lagi yang menculik dan membawa para jendral  kesana adalah pasukan Cakrabirawa. Cakrabirawa sendiri yaitu resimen yang merupakan pasukan gabungan dari TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Kepolisian Republik Indonesia yang bertugas khusus menjaga keamanan Presiden RI pada zaman pemerintahan Soekarno. Jadi menurut Soeharto, keterlibatan oknum AU semakin kuat, Faktanya, Lubang Buaya berada di luar markas TNI AU, dan keganjilan lainnya.  Sehingga 30 tahun lebih TNI AU harus menerima fitnah itu.

Materi dan isi Film Penghianatan G30S PKI banyak diisi kekerasan. Pengulangan demi pengulangan kekerasan melalui film ini menyebabkan memori masyarakat tidak tersentuh oleh misteri dibalik tragedi G30SPKI, bahkan sampai sekarang. Ini merupakan salah satu pembodohan masyarakat tentang isu ini. PKI dibenci dan dimaki, bukan karena ajaran atau faham yang diajarkan tetapi karena film.

3. Rapat PKI


Adegan Rapat PKI di Film ini merupakan salah satu “trademark” yang paling dingat publik. “Shot big close-up”  mulut-mulut sedang diskusi sambil menghisap rokok dibawah cahaya lampu gantung remang - remang, menambah ke”angker”an di setiap adegan rapat gelap yang dilakukan para tokoh PKI ini, sehingga menambah kesan penuh muslihat. Padahal, menurut beberapa sumber, anggota PKI dilarang merokok, apalagi didalm rapat.



4. Lagu Genjer – genjer


Pada saat adegan penyiksaan para jendral di lubang buaya, terlihat juga para anggota Gerwani dan Pemuda rakyat melakukan penyiksaan sambil menari – nari dan menyanyikan lagu genjer – genjer (soundtrack?).

Ini semakin menyudutkan tentang lagu ini yang dianggap sebagai lagu nya PKI. Padahal lagu ini lagu rakyat yang sedang populer waktu itu. Dalihnya adalah, lagu tersebut lagu milik PKI karena diciptakan oleh seorang seniman Lekra (salah satu organisasi Kesenian dibawah PKI). Bahkan lagu itu sempat dicekal dan dilarang pemutarannya.



Banyak lagi kontroversi – kontroversi tentang film ini, yang akhirnya Pada tahun 1998, setelah tumbangnya rezim pemerintahan Soeharto, banyak pihak semakin mempertanyakan kebenaran sejarah, termasuk yang digambarkan dalam film ini. Akhirnya, karena memang  dianggap sebagai propaganda Orde Baru, beberapa jendral TNI AU dan Menteri Penerangan pada tahun 1998, Yunus Yosfiah, kemudian melarang pemutarannya. Alasannya, berbau rekayasa sejarah dan pembohongan publik.



Film dan monumen Lubang Buaya Pancasila Sakti tersebut adalah bentuk propaganda yang memutarbalikkan fakta di balik tragedi kemanusiaan 1965 yang menurut penyelidikan Komnas HAM termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat.



Bahkan, dari hasil penyelidikan Komnas HAM menyebutkan ada sembilan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh Kopkamtib dibawah komando Soeharto yang meliputi pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa terhadap para korban 1965 di seluruh Indonesia minus Papua.

Sehingga menambah jelas kalau film ini merupakan hasil rekayasa Soeharto dalam usahanya membela diri dan alat merebut kekuasaan (setelah kejadian ini, rezim Soeharto resmi menggantikan rezim Soekarno), dan mengkambing hitamkan PKI.





Efek Masyarakat


Film G30 S PKI menjadi film wajib tonton masyarakat Indonesia, yang diputar setiap tahun (setiap malam 30 September), antara tahun 1984 hingga 1997 di TVRI (Stasiun televisi resmi milik Pemerintah). Apalagi dengan tidak adanya saingan stasiun – stasiun televisi swasta seperti sekarang, menambah antusiasisme masyarakat semakin besar terhadap film ini.



Diluar benar tidaknya kontroversi yang ada di film ini, Secara tidak langsung, film ini sangat mempengaruhi opini – opini publik masyarakat Indonesia terhadap sosok Partai Komunis Indonesia yang berperan sebagai antagonis di film tersebut.



Majalah Tempo misalnya, pada bulan September tahun 2000, membuat survey tentang pengaruh film ini terhadap masyarakat. Hasil indoktrinasi lewat buku sejarah (salah satunya pelajaran PSPB yang sekarang juga sudah dihapuskan) dan media propaganda film G 30 S PKI (salah satu yang utama), itu sungguh dahsyat. Responden dari 1.110 pelajar SMA di tiga kota (Surabaya, Medan, dan Jakarta) jadi begitu konservatif, menolak semua yang berbau PKI dan komunis.



Menurut sebagian besar responden, komunisme itu merupakan paham yang antiagama (69 %) dan sangat radikal (24 %). Meskipun komunisme sudah ditumpas puluhan tahun silam dari bumi Indonesia, banyak yang masih percaya ia akan bangkit kembali (47 persen). Karena itu, separuh responden berpendapat sebaiknya komunisme tak diajarkan sebagai ilmu pengetahuan. Buku-buku tentang komunisme juga sebaiknya dilarang beredar. Sebagian besar responden juga percaya adegan yang ada dalam Pengkhianatan G30S/PKI itu benar-benar terjadi.



Ini bukti bahwa hasil propaganda Soeharto cukup berhasil! Setidaknya sampai tahun 2000 ketika survey dilakukan

.

Kesimpulan


Film G 30 S/ PKI akhirnya memang resmi dihentikan penayangannya karena memang film yang dianggap membelokan fakta sejarah. Tapi di balik itu, tersimpan banyak misteri dan memori yang menyelimuti film tersebut, untuk dijadikan renungan dan pelajaran buat masyarakat Indonesia. 

Diharapkan bagi setiap generasi muda khususnya, bisa lebih arif dan bijak serta subjektif dalam menilai salah satu organisasi komunis terbesar di Asia ini, diluar kontroversi apapun di belakangnya. Banyak buku – buku dan literatur – literatur yang bisa kita jadikan referensi dalam menguak lebih dalam tragedi bangsa tersebut, bukan hanya dengan tahu satu versi saja, seprti versi pemerintah yang berkuasa.


Bagi saya pribadi, yang memang pernah menonton  Film G 30 S/ PKI sampai umur 15 tahun, film itu hanya hanya menyisakan memori gak penting untuk mengingat beberapa naskah adegan saja yang akhirnya menjadi legenda :), seperti , "Teken jenderal, teken!", “darah itu merah jendral”, "Penderitaan itu pedih jenderal. Sekarang rasakan sayatan silet ini. Pedih!. Tapi tidak sepedih penderitaan rakyat" , adegan rapat PKI dengan kepulan asap rokok, atau adegan para penyiksa yang tertawa-tawa bengis sambil menyanyikan lagu 'Genjer-genjer'. That’s All!





Merdeka!


Berbagai Sumber