![]() |
no comment aahh :) |
Belajar Menulis dan berbagi dari berbagai referensi dengan cara Sederhana dan Bahagia :)
Thursday, October 2, 2014
Warisan Tan Malaka (Sejarah Partai MURBA)
Oleh : Asvi Warman Adam - Sejarawan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia
![]() |
Tan Malaka dan Lambang Partai MURBA |
MENGAPA Tan Malaka tidak berhasil membesarkan
Partai Murba? Jawabnya jelas, karena ia ditembak mati di Kediri tiga bulan
setelah mendirikan partai itu. Pilihan hari pembentukan partai itu, 7 November 1948—bertepatan
dengan hari revolusi Rusia—tentu tak sembarangan. Murba muncul setelah Partai
Komunis Indonesia tersingkir pasca-Peristiwa Madiun, September 1948. Karena itu
Murba dicitrakan sebagai partai komunis baru atau semacam pengganti PKI.
Itu pula yang kemudian menyebabkan keduanya bukan
hanya bersaing sebagai organisasi kiri melainkan bermusuhan. Pertikaian paham
mengenai pemberontakan PKI 1926/1927 antara Tan Malaka dan Musso berdampak panjang. Ketika Musso pulang ke Indonesia pada
1948, program politiknya memiliki berbagai kesamaan dengan Tan Malaka. Namun,
ketika ditanya wartawan apakah mereka akan bekerja sama, Muso menjawabnya
sinis. Bila ia punya kesempatan, katanya, yang pertama dilakukannya adalah
menggantung Tan Malaka.
Sejak awal sudah terjadi perdebatan apakah Murba
akan dijadikan partai kader atau partai massa. Namun yang jelas partai ini
lahir dalam kancah revolusi karena dikembangkan sambil bergerilya. Ada Chaerul Saleh di Jawa Barat dengan
Barisan Bambu Runcing. Sukarni dan
kawan-kawan yang menyebar dari Yogya ke Jawa Tengah, dan Tan Malaka sendiri di
Jawa Timur yang bergabung dengan batalion yang dipimpin Mayor Sabarudin. Ketiga upaya itu akhirnya gagal. Chaerul Saleh
ditangkap, lalu diperintahkan Presiden Soekarno untuk studi ke Jerman. Dan
sebelum gerakan kelompok Tan Malaka terkristalisasi, terjadilah agresi militer
II Desember pada 1948.
Setelah Tan Malaka tewas, Murba masih memiliki
banyak tokoh seperti Iwa Kusumasumantri, Chaerul Saleh, Adam Malik, Sukarni, Prijono.
Walaupun terdiri dari pemuda yang bersemangat, dalam organisasi mereka kurang
andal. Kisah dan nama besar Tan Malaka dijadikan legenda, tetapi pemikirannya
tidak dijabarkan dalam bentuk aksi. Mesin (pengkaderan) partai di berbagai
sektor tidak jalan. Partai tidak memiliki penerbitan serius, kecuali Pembela Proklamasi
yang terbit 20 edisi. Upaya mendekatkan Murba dengan PKI seperti dirintis Ibnu
Parna dari Acoma (Angkatan Communis Muda) ditolak elite PKI. M.H. Lukman
menulis ”Tan Malaka Pengkhianat Marxisme-Leninisme” (Bintang Merah, 15 November
1950).
Pemilu 1955 adalah pengalaman pahit sekaligus
kehancuran partai (yang kemudian tidak pernah bangkit lagi). Murba hanya
beroleh 2 dari 257 kursi yang diperebutkan. Dalam pemilu selanjutnya partai ini
bahkan tak berhasil masuk parlemen.
Demokrasi terpimpin memberikan peluang bagi Murba.
Soekarno menjadikannya penyeimbang posisi PKI. Kongres Murba kelima, Desember
1959, dihadiri Presiden. Chaerul Saleh dan Prijono masuk kabinet, Adam Malik
dan Sukarni menjadi Duta Besar di Moskow dan Beijing. Puncaknya, Tan Malaka
diangkat menjadi pahlawan nasional pada 1963.
Pertentangan antara Murba dan PKI menajam. Ketika
PKI semakin kuat, Murba bekerja sama dengan militer dan pihak lain menjegal
dengan membentuk Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). Namun BPS dibubarkan Bung
Karno. Sukarni dan Syamsudin Chan ditahan pada awal 1965. Murba dibekukan dan
kemudian dibubarkan pada September 1965 karena dituduh menerima uang US$ 100
juta dari CIA untuk menggulingkan Presiden. Pada 17 Oktober 1966 Soekarno
merehabilitasi partai Murba melalui Keputusan Presiden Nomor 223 Tahun 1966.
Pada awal Orde Baru, Adam Malik menjadi Menteri
Luar Negeri dan kemudian Wakil Presiden. Namun posisinya ini tidak berpengaruh
bagi Partai Murba.
Dalam pemilu pertama era Orde Baru, Juli 1971—dua
bulan setelah wafatnya Sukarni, tokoh partai ini—Murba beroleh 49 ribu suara
(0,09 persen pemilih). Tetapi kegagalan utama Murba disebabkan oleh stigma
rezim Orde Baru terhadap seluruh golongan kiri. Orde Baru menabukan sosok Tan
Malaka. Gelar pahlawannya tak pernah dicabut, tetapi namanya dihilangkan dari
buku pelajaran sejarah di sekolah. Dalam pemilu selanjutnya Murba berfusi
dengan Partai Demokrasi Indonesia. Setelah Soeharto jatuh, Murba, yang menyebut
dirinya ”Musyawarah Rakyat Banyak” itu, ikut pemilu pada 1999. Sayang, mereka
hanya mendapat 62 ribu suara (0,06 persen pemilih).
l l l
Tan Malaka membentuk jaringan revolusioner yang
hebat dalam perjuangannya, tetapi bukan partai yang awet. Ia merantau 30 tahun,
dari Pandan Gadang (Suliki), Bukittinggi, Batavia, Semarang, Yogya, Bandung,
Kediri, Surabaya, Amsterdam, Berlin, Moskow, Amoy, Shanghai, Kanton, Manila,
Saigon, Bangkok, Hong Kong, Singapura, Rangoon, sampai Penang.
Meskipun sempat memimpin Partai Komunis Hindia Belanda
pada 1921, Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI pada 1926/1927. Ia sama
sekali tidak terlibat dalam peristiwa Madiun 1948. Murba dalam berbagai hal
bertentangan dengan PKI.
Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia
(Pari) di Bangkok pada 1 Juni 1927. Walaupun bukan partai massa, organisasi ini
hidup selama sepuluh tahun pada saat partai-partai nasionalis di Tanah Air
lahir dan mati. Pari dianggap berbahaya oleh intel Belanda, dan para aktivisnya
diburu. Kemudian tibalah saatnya Tan Malaka berselisih jalan dengan Komunis
Internasional (Komintern). Bagi Komintern, Pan-Islamisme sebuah bentuk
imperialisme, padahal gerakan ini menentang imperialisme, kata Tan Malaka.
Setelah melanglang buana dua dekade,
pascakemerdekaan, perjuangan Tan Malaka mengalami pasang naik dan pasang-surut.
Ia memperoleh testamen Bung Karno untuk menggantikan bila yang bersangkutan
tidak dapat menjalankan tugas. Namun sejak 1946 Tan Malaka menentang diplomasi
yang merugikan Indonesia. Sebagai pemimpin Persatuan Perjuangan yang terdiri
dari 142 organisasi sosial politik, ia menuntut agar perundingan baru dilakukan
bila Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia 100 persen. Posisi ini membuat Tan
Malaka berhadapan diametral dengan Perdana Menteri Sjahrir sehingga di kalangan
sosialis pun narasi tentang Tan Malaka bernada negatif (lihat Kilas Balik
Revolusi, karya A.B. Lubis, 1992).
Bila Tan Malaka dikategorikan sebagai penganut
Trotsky, apakah Persatuan Perjuangan itu merupakan front bersatu untuk revolusi
permanen? Tampaknya tidak. Motivasi organisasi-organisasi itu hanyalah menolak
dominasi Partai Sosialis dalam kabinet. Setelah tawar-menawar kekuasaan gagal,
Persatuan Perjuangan menjadi raksasa berkaki tanah liat. Tan Malaka ditangkap
pada Maret 1946 dan tetap ditahan sampai September 1948. Ironis, ia
dipenjarakan di dalam negeri dua setengah tahun—lebih lama daripada waktu
ditahan pihak Belanda, Inggris, Amerika, dalam pergerakan selama puluhan tahun
pada era kolonial. Dalam situasi krusial, Tan Malaka tidak bisa mempengaruhi
jalannya revolusi. Pengikutnya juga banyak yang ditahan, terutama setelah
peristiwa 3 Juli 1946.
Soekarno mengakuinya sebagai seorang guru, dalam
hal pengetahuan revolusioner dan pengalaman. Entah kebetulan atau kurang
beruntung, Tan Malaka yang sudah berjuang puluhan tahun di mancanegara tidak
punya peran sama sekali saat proklamasi. Posisi terhormat itu ditempati
Soekarno-Hatta. Meski Harry Poeze punya dokumentasi yang menunjukkan bahwa Tan
Malaka berada di belakang gerakan pemuda, seraya memobilisasi massa mengikuti
rapat akbar di Ikada pada 19 September 1945. Ada beberapa foto yang membuktikan
kehadiran Tan Malaka di lapangan Ikada, Jakarta. Di dalam foto Tan tampak
berjalan seiring dengan Bung Karno (tinggi mereka berbeda, Soekarno 172
sentimeter sedangkan Tan Malaka 165 sentimeter).
Soekarno memanifestasikan kekagumannya pada Tan
Malaka dalam sebuah Testamen Politik yang isinya kemudian diperlemah oleh
Hatta. Tetapi Tan Malaka tetap bergerak di bawah tanah dan ragu untuk tampil
secara terbuka. Mungkin ini disebabkan pengalaman pribadinya yang lebih dari
dua puluh tahun dikejar-kejar dan (hidup) dalam ilegalitas. Seperti dikatakan
orang-orang dekatnya, Tan Malaka sulit kembali sebagai orang ”normal”. Tan
Malaka baru muncul ke permukaan pada Januari 1946, ketika melihat diplomasi
pemerintah sangat merugikan Indonesia.
Gagasan Tan Malaka tetap relevan untuk menjawab
ancaman dan tantangan zaman masa kini. ”Dari dalam kubur suara saya terdengar
lebih keras daripada di atas bumi,” kata Tan Malaka ketika akan ditangkap
polisi Hong Kong pada 1932. Tan Malaka tidak mewariskan partai, tetapi ia
meninggalkan pemikiran brilian yang dapat diserap partai mana saja di Tanah
Air.
Sumber : "Warisan Tan Malaka", Tempo Interaktif, 11 Agustus 2008
Label:
Sejarah,
Tan Malaka,
Tokoh
Sunday, July 20, 2014
Biografi Sabar Anantaguna
S. Anantaguna lahir di Manisrenggo ,Klaten, Jawa Tengah, pada tanggal 9 Agustus 1930, dengan nama Santoso bin
Sutopangarso. Setelah beranjak dewasa, tanpa diketahui alasannya, dia mengganti
namanya menjadi Sabar Anantaguna.
Antaguna
Dan Lekra
Anantaguna berkawan dekat dengan Njoto, salah satu pimpinan tertinggi Partai
Kominis Indonesia (PKI) dan pendiri di
Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA)yang
juga penulis pidato Sukarno. Mereka berkawan sejak kanak-kanak dan pernah duduk
satu kelas di MULO, Solo. Perkawanan itu terajut hingga dewasa. Keduanya
memiliki beberapa persamaan, yaitu kokoh memegang prinsip, tak banyak bicara
serta lihai membuat syair-syair lembut namun menggugah. Hal itu juga yang
membuat ia akhirnya aktif di PKI dan LEKRA yang sedang Berjaya pada saat itu.
Sebagai penulis yang tekun dan produktif, Antaguna mula-mula
menulis puisi, kemudian juga esai panjang dan cerpen. Karyanya banyak dimuat
di Harian
Rakjat koran milik PKI dan Zaman Baru, Majalah Lekra di bawah pimpinan
Rivai Apin. Anantaguna juga salah satu redakturnya. Beberapa bulan menjelang
G30S, Lekra juga menerbitkan harian Kebudayaan Baru,
digawangi oleh Anantaguna.
Di Lekra, Anantaguna adalah penggerak organisasi
sekaligus penjaga gawang ideologi. Menjejak kiprah sebagai pendiri Lekra di
Jogjakarta dan menjadi Anggota Sekretariat Pimpinan Pusat Lekra sejak 1959. Ia
satu dari sedikit anggota Lekra yang sekaligus kader PKI. Ketika PKI ulang
tahun saat masih berjaya, Anantaguna pernah membuat puisi berjudul “Kepada
Partai” , yang sangat terkenal pada masanya.
Sebagai seorang penyair senior Lekra, namanya tidak
begitu terkenal karena dia memang orang “bawah tanah”. Martin Aleida, mantan
wartawan Harian Rakjat yang bertugas meliput
di istana presiden periode 1960-an bercerita, tahun 1960-an, dirinya pernah
sebulan tinggal seatap dengan Anantaguna di ruang belakang perpustakaan PKI. “Dia pendiam,” kata Martin. “Selama tinggal bersama, kami hanya bicara
yang penting-penting saja. Walau satu meja saat makan maupun sarapan, kami
diam-diaman. Dia baca koran, saya baca koran.” Perpustkaan itu kini menjadi
mess Aceh di Menteng, Jakarta.
27 Agustus – 2 September 1964, PKI menyelenggarakan
Konfernas Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) di Jakarta, diikuti para
sastrawan dan seniman revolusioner seluruh Indonesia. KSSR adalah konferensi
sastra dan seni pertama, sebagai hasil hasil sidang pleno CC PKI akhir 1963
yang menetapkan tentang pentingnya memberikan garis-garis pokok bagi penciptaan
sastra dan seni revolusioner. KSSR bertekad bulat untuk mengabdikan sastra dan
seni kepada kaum buruh, tani, dan prajurit. Anantaguna salah satu penggagasnya.
Antaguna dan
Pulau Buru
Pasca Tragedi 1965, Anantaguna ditangkap dan
dipenjara selama 13 tahun (1965-1978) tanpa pernah diadili. Anantaguna diciduk
tentara dan ditahan di penjara Salemba. Dalam film dokumenter Tjidurian 19, garapan Lasya F. Susatyo
dan M. Abduh Aziz, 2009, Anantaguna bertutur tentang peristiwa penangkapan itu
berikut sepenggal kisah tentang kekasihnya, yang rela meninggalkan bangku
kuliah dan bekerja menjadi baby sitter untuk
bisa mengirim makanan kepadanya di penjara. Anantaguna pun dihajar gundah,
sebelum akhirnya, pada sang kekasih, ia berujar “Kalau
mau kawin, kawin saja. Sebaiknya kita tak usah ketemu. Tidak enak sama calon
suamimu..”. Kekasihnya lantas pergi menikah.
Anantaguna mengarungi laut ke dibawa ke Pulau Buru.
Sebagaimana para tahanan politik lainnya, ia juga mengalami siksa mental dan
fisik. Teror paling pedih adalah tatkala harus menyaksikan kawan-kawannya
disiksa dan meregang nyawa. Penjara kemudian menjadi tempat terbaik ia hayati
arti pedas kehidupan. Toh, Anantaguna menolak tunduk pada ketakutan. Ia anggap
bahwa setiap persoalan harus sanggup ditaklukkan.
Di Pulau Buru, lahirlah puisi-puisinya yang begitu
menawan. 13 tahun kebebasannya dirampas tanpa pernah diadili, menulis puisi
adalah salah satu bentuk penghiburan, cara bertahan, sekaligus upaya menjaga
mental politik dan ideologi. Sebagian besar puisi Anantaguna yang diproduksi
dalam penjara-penjara dan buangan, terutama di Pulau Buru. Hingga akhirnya ia dibebaskan
pada tahun 1978.
Pasca
Pembebasan
Lepas dari penjara Orde Baru tersebut, Antaguna bekerja
serabutan untuk bertahan hidup. Jangankan pimpinan Lekra macam dia, anggota
biasa saja dikucilkan dari masyarakat. Anantaguna juga kembali ke identitas
kecilnya.
Pada 1980, ketika Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan mengadakan sayembara menulis, Antaguna mengirim naskah berjudul Mewarisi dan Memperbaharui Kebudayaan Nasional.
Naskah itu ia kirim atas nama Santoso, dan akhirnya juara satu dan mendapatkan
hadiah.
Antaguna tak punya anak. Taty, istrinya terbaring lumpuh di Kalimantan. Anantaguna bersama
istri sempat dirawat kerabatnya di Kalimantan selama 6 bulan, namun akhirnya
kerabatnya kerepotan harus merawat dua orang usia lanjut yang sakit-sakitan. Anantaguna
kembali ke Jakarta, hendak dirawat oleh kawan-kawan lamanya.
Di hari tuanya, sosok jangkung, berkacamata,
berjanggut dengan tutur kata lembut ini dihajar penyakit Parkinson, yang membuat
tangan dan kakinya mulai tertanggu. Anantaguna masih menolak menyerah. Ia masih
rajin menyambangi perpustakaan, mengumpulkan data dan menulis dengan tangan
beberapa esai.
Para pegiat Komunitas
Mata Budaya yang kerap menemani hari-hari terakhir Anantaguna, masih
mengingat jelas pesan Anantaguna padanya: “Menulislah tentang masa kini
dan masa depan, karena masa kini sendiri sudah banyak keruwetan”. Di bangsal rumah sakit, dengan lirih
Anantaguna berucap, “Kalau menderita itu sudah
biasa, yang repot itu kalau jadi beban orang-orang..”
Meninggal
Dunia
Sendirian dan sakit-sakitan, bolak-balik masuk
rumah sakit dalam rentang dua bulan, hingga akhirnya Antaguna digotong ke RSCM
dan tak sadarkan diri selama 8 hari. Pada hari Jum’at tanggal 18 Juli 2014,
pukul 1.45 WIB, Antaguna mengembuskan nafas terakhir dalam usia 85 tahun, di di
bangsal sederhana RS Cipto Mangunkusumo,
Jakarta. Setelah disalatkan usai salat Jumat di masjid yang berjarak 50 meter
dari rumahnya, jasadnya dimakamkan di TPU Duren Sawit, Jakarta Timur.
Karya
Puisi Anantaguna kerap dimuat koran Harian Rakjat, organ PKI dengan
oplah terbanyak pada 1960-an. Puisinya terangkum
dalam kumpulan puisi Yang Bertanah Air Tidak
Bertanah (1962), Kecapi Terali Besi
(1999), dan Puisi-puisi dari Penjara (2010).
Cerita pendeknya, bersama cerpenis A.A. Zubir, Agam Wispi, Sugiarti, dan T.
Iskandar A.S. masuk dalam kumpulan cerita pendek Api
26 (1961). Paling monumental adalah Potret
Seorang Komunis, yang dipuji Pramoedya Ananta Toer sebagai “prestasi
sastra realisme sosialis”.
“Menulislah tentang masa kini
dan masa depan, karena masa kini sendiri sudah banyak keruwetan”
–S. Anantaguna
Sumber:
S. Anantaguna . Puisi-Puisi dari Penjara. Ultimus,
Bandung. Cetakan Pertama, 2010
Potret Seorang Komunis
By : Sabar Anantaguna
Adakah duka lebih duka yang kita punya
kawan meninggal dan darahnya kental dipipi
tapi kenangan kesayangan punya tempat dalam hati,
Adakah tangis lebih tangis yang kita punya
badan lesu dan nafas sendat didada
tapi hasrat dan kerja berkejaran didalam waktu.
Bila terpikir bila terasa bila kesadaran mencari dirinya
bila pernah ditakuti tapi juga disayangi
bila kalahpun berlampauan dan menang akan datang
adalah dada begitu sarat keinginan akan nyanyi
dan apakah yang aku bisa selain hidup.
adalah bangga lebih bangga yang kita punya
dipagi manis daun berbisikan tentang komunis
begitu lembut begitu mesra didesirkan hari biru.
Adakah cinta lebih cinta yang kita punya
sebagai kesetiaan yang berkibar diwaktu kerja
kawan meninggal dan darahnya kental dipipi
tapi kenangan kesayangan punya tempat dalam hati,
Adakah tangis lebih tangis yang kita punya
badan lesu dan nafas sendat didada
tapi hasrat dan kerja berkejaran didalam waktu.
Bila terpikir bila terasa bila kesadaran mencari dirinya
bila pernah ditakuti tapi juga disayangi
bila kalahpun berlampauan dan menang akan datang
adalah dada begitu sarat keinginan akan nyanyi
dan apakah yang aku bisa selain hidup.
adalah bangga lebih bangga yang kita punya
dipagi manis daun berbisikan tentang komunis
begitu lembut begitu mesra didesirkan hari biru.
Adakah cinta lebih cinta yang kita punya
sebagai kesetiaan yang berkibar diwaktu kerja
Harian Rakjat, 6 April 1957
Label:
LEKRA,
Tulisan Kiri
Subscribe to:
Posts (Atom)